Senin, 28 November 2011

SOSIOLOGI GENDER

Bandung - Nasib buruh sampai saat ini masih jauh dari sejahtera. Keadaan ini diperparah dengan adanya sistem upah murah dan sistem kerja kontrak. Dibandingkan dengan buruh laki-laki, kesejahteraan buruh perempuan lebih buruk. Padahal 70 persen buruh adalah perempuan.

            Realita yang ada sekarang adalah buruh dirugikan dengan adanya sistem upah murah dan sistem kerja kontrak," kata Rahmat Sodikin (33), Divisi Kampanye Paguyuban Pekerja Muda Peduli (PPMP) di sela-sela Sidang Nasional PPMP di Hotel Bumi Kitri, Jalan Cikutra, Senin (9/3/2009).
Sodikin lebih lanjut menerangkan terjadi diskriminasi upah yang diberikan kepada buruh laki-laki dan perempuan. Jika buruh laki-laki, ada perbedaan gaji buruh lajang dengan yang sudah berkeluarga. Tetapi tidak demikian dengan perempuan. Masih sendiri maupun sudah berkeluarga digaji sama.
"Ini karena wanita masih belum dianggap pencari upah utama dalam suatu keluarga, mereka hanya tambahan," ujar Sodikin.

            Jumlah buruh sendiri mayoritas adalah perempuan. "Saat ini jumlah buruh wanita sebanyak 70 persen baik di industri garmen maupun tekstil," tambah Nanang Ibrahim, buruh salah satu peserta sidang.Pelanggaran lainnya, kata Nanang,  biasanya buruh tidak mendapatkan uang lembur yang sesuai. "Buruh bisa bekerja terus menerus 24 jam dua kali dalam seminggu," kata Nanang. Namun, uang lembur tidak dibayar sesuai dengan aturan yang ada.

           Padahal khusus untuk buruh wanita tidak boleh bekerja sampai larut malam karena menyangkut keselamatan. Hal itu diatur dalam UU No 12 tahun 1948. "Pernah terjadi dua kasus pemerkosaan buruh perempuan yang pulang pada malam hari, yang satu malah sampai dibunuh," kata Nanang.
Sodikin menambahkan buruh wanita juga tidak mendapatkan cuti hamil dan haid sesuai dengan UU No 13 tenaga kerja. "Mereka tidak mendapatkan cuti, kalau minta cuti bisa-bisa dipecat malahan," kata Sodikin.


 Feminisme Marxis
            Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakatborjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.



3 komentar:

  1. sudah bagus,tapi studi kasusnya belum jelas.

    BalasHapus
  2. sebuah artikel mengenai Gender yang di analisis dengan Feminisme Marxis...
    udah bagus kok...

    BalasHapus
  3. artikelnya bagus,bisa buat referensi makul sosiologi gender.

    BalasHapus